SEJARAH SISTEM PERS DI INDONESIA
SEJARAH SISTEM PERS INDONESIA
NAMA : MUHAMMAD IZZAUL HAQUE
NIM : G.311.13.0047
TUGAS : DASAR – DASAR JURNALISTIK
PROGDI : ILMU KOMUNIKASI (A)
Sejarah Pers di
Indonesia
Sebelum kita membahas sejarah pers di Indonesia, lebih
dulu kita harus tahu apa itu pers? Secara etimologis, kata pers dalam bahasa Belanda, atau press
dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin, yaitu pressare dari
kata premere yang berarti tekan atau cetak.
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 13
disebutkan bahwa pers memiliki dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit. Dalam
arti luas, pers adalah seluruh media baik elektronik maupun cetak yang
menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, ulasan, laporan, dan gambar kepada
masyarakat luas secara regular. Dalam arti sempit, pers hanya terbatas media
cetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, bulletin dan
majalah. Secara yuridis formal, pengertian pers disebutkan dalam pasal 1
ayat (1) UU No.40 tahun 1999 tentang pers yang menjelaskan bahwa “pers
adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan
gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media
cetak, elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia.”
Lalu
seperti apa sejarah pers di Indonesia?
1.
Era Hindia –
Belanda
Tentang awal
mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam
bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa
sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar.
Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala
bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa).
Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda,
Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede
tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada
bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780,
sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat
kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Kemudian
dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903,
sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar
ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers
yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers
Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor
Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan
aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori
kebebasan.
Hadirnya Medan
Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum
pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak
lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harianOetoesan
Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya
cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran
dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia
Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat
harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada
tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin
harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di
tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang
kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia. Itulah sedikit mengenai sejarah pers pada era Hindia – Belanda.
2.
Era Penjajahan Jepang
Era ini
berlangsung dari 1942 hingga 1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia
banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain
seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan
bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada
zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia
mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin
penerbitan pers. namun surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula
berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang
usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang
untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia
Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat
Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang
semata.
Selain itu
Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan
menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung.
Dengan
munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat
kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan
dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam
kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan
sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang
dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan
Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti
Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
3.
Era Perjuangan
Kemerdekaan
Era pers ini terjadi ketika Indonesia baru saja lepas
dari cengkaraman Jepang dan tengah dalam masa-masa awal kemerdekaan, antara
pertengahan tahun 1945 – 1949. Pada era ini
adalah saat bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil
diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Di mana Belanda ingin kembali menduduki
Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan.
Saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan:
Saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan:
o Pers
NICA, yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan
Belanda. Pers ini berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali
Belanda untuk bekuasa di Indonesia.
o Pers
Republik, yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia. Pers Republik
disuarakan oleh kaum republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan
dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan
masa itu.
4.
Era Demokrasi
Parlementer
Era pers Demokrasi Parlementer terjadi pada
tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia menganut sistem parlementer yang
berpaham liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat
menikmati adanya kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran
politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi
berubah menjadi pers sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
Pada tahun
selanjutnya, pers dan wartawan di Indonesia masih diliputi suasana penuh
tantangan akibat dari berlarut-larutnya revolusi dan masih manifesnya penjajah
untuk kembali ke Indonesia. Dapat dikatakan bahwa setelah kemerdekaan, semangat
yang menjiwai perjuangan kemerdekaan mulai luntur, terjadi persaingan keras
antar kekuatan politik. Pers Indonesia ikut larut dalam arus ini, terjadi
perubahan watak dari pers perjuangan menjadi pers partisipan. Pers sekadar
menjadi corong partai politik. Meskipun pers bersifat partisipan, bisa dikatakan
periode ini adalah masa bahagia yang singkat buat kebebasan pers, khususnya
untuk wartawan politik. Inilah akhir periode kebebasan pers di Indonesia dan
awal rezim Orde lama berkuasa.
5.
Era Demokrasi
Terpimpin
Perkembangan pers selanjutnya memasuki babak
selanjutnya, yakni babak demokrasi terpimpin yang terjadi akibat adanya
gejolak-gejolak politik pada saat itu. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno
mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, lalu
pada Februari 1957, Soekarno kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin
yang diinginkannya. Sepanjang periode Demokrasi Terpimpin dan diberlakukannya
Undang-Undang Darurat Perang, pers pun mengalami era terpimpin ini. Presiden
Soekarno memerintahkan pers agar setia kepada ideologi Nasakom serta
memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat. Soekarno tidak ragu-ragu untuk
melarang surat kabar yang menentangnya. Sepanjang periode Demokrasi Terpimpin
dan diberlakukannya Undang-Undang Darurat Perang, pers pun mengalami era
terpimpin ini. Presiden Soekarno memerintahkan pers agar setia kepada ideologi
Nasakom serta memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat. Soekarno tidak
ragu-ragu untuk melarang surat kabar yang menentangnya.
Periode
Demokrasi Terpimpin umumnya dikatakan sebagai periode terburuk bagi sejarah
perkembangan pers di Indonesia. Hal ini bisa dimaklumi karena persepsi, sikap,
dan perlakuan penguasa terhadap pers Indonesia telah melampaui batas-batas
toleransi. Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut
kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik.
6.
Era Orde Baru
Setelah Orde
Lama (orla) berakhir, maka Indonesia memasuki era baru, yakni Orde Baru (orba)
yang timbul dari peristiwa G 30 S. Pers nasional pada masa Orde Baru adalah
salah satu unsur penggerak pembangunan. Pemerintah Orde Baru sangat
mengharapkan pers nasional sebagai mitra dalam menggalakkan pembangunan sebagai
jalan memperbaiki taraf hidup rakyat.
Pada saat itu, pers menjadi alat vital dalam mengkomunikasikan pembangunan. Karena pembangunan sangat penting bagi orde baru, maka pers yang mengkritik pembangunan mendapat tekanan. Orde baru yang pada mulanya bersifat terbuka dan mendukung pers, namun dalam perjalanan berikutnya mulai menekan kebebasan pers. Pers yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah atau berlaku berani mengkritik pemerintah akan dibredel atau dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kita tentunya masih ingat dengan kasus yang dialami oleh majalah Tempo. Media tersebut pernah dicabut SIUPPnya akibat pemberitaan yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru.
Seiring
dengan laju pembangunan yang sangat pesat pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers
mengalami kebebasan yang sesuai dengan
tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi
rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian
dilatarbelakangi adanya keinginan sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan segala daya dan upaya, para
elit berusaha membendung berbagai
pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikan diri atau kroni-kroninya. Kehidupan pemerintahan
diliputi dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa
Orde Baru pun akhirnya tumbang oleh kekuatan
rakyat yang dimotori oleh para mahasiswa. Salah satu tuntutan mahasiswa
- rakyat untuk adanya kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat
dengan lisan dan tulisan, yang berarti adanya jaminan kebebasan pers.
7.
Era Reformasi
(Sekarang)
Reformasi yang lahir dari tuntuntan rakyat yang telah
bosan ditekan dan dikekang oleh rezim orde baru. Reformasi membawa angina segar
perubahan di segala lini kehidupan masyarakat dan Negara termasuk juga pers. Sejak masa
reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers.
Hal ini
sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan
rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers
atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira
dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan
undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok
Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.
Pada masa reformasi, Undang-Undang
tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai
berikut:
o
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan
mendapatkan informasi.
o
Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan.
o
Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang
tepat, akurat, dan benar.
o
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
o
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Walaupun sekarang kita bisa melihat
bahwa pers tidak sepenuhnya dapat menjalankan apa yang diamanatkan oleh Undang
– Undang dikarenakan kebebasan pers yang ada di reformasi ini tidak diimbangi
dengan profesionalistas kebanyakan kalangan pers yang menjadikan komersialitas
sebagai tujuannya bukan pembangunan serta pengawasan terhadap bangsa yang
menjadi amanat dalam Undang – Undang. Namun di setiap masa ataupun era memiliki
kelebihan serta kekurangannya masing-masing, dan hal itu pula yang dapat
semakin membuat dunia pers kita lebih berkembang dan belajar dari era – era
sebelumnya untuk menjadi pembelajaran agar terbentuk pers Indonesia yang sesuai
dengan pancasila serta mengembang tugas yang telah diberikan oleh Undang –
Undang.
Analisa Sistem Pers Indonesia
Dari
penjelasan di atas mengenai sejarah pers di Indonesia kita dapat menggolongkan
atau menganalisa periode-periode mana yang menggunakan sistem pers ini dan
sistem pers itu. Mengenai hal itu kita akan membahas dulu tentang empat teori
pers dari Siebert, Peterson dan Schramm yang berpendapat “pers selalu mengambil bentuk dan
warna struktur sosial dan politik dimana ia beroperasi.”
Berdasarkan
sistem sosial dan politik yang berkembang saat itu maka mereka mengembangkan
empat teori pers, antara lain:
1.
Authoritarian
Theory
2.
Libertarian
Theory
3.
Social
Responsibility Theory
4.
The
Soviet Communist Theory
lalu
berdasarkan empat teori pers tersebut, pers Indonesia termasuk bagian yang
mana? Melihat dari sejarah pers Indonesia yang cukup panjang, kita dapat
menganalisa bahwa pembagian sistem pers di Indonesia menurut eranya itu ada:
1. Era Hindia –
Belanda
Pers pada
era ini masuk dalam golongan pers yang masih “Authoritarian”, karena pers pada masa itu masih sangat sederhana,
berita-beritanya pun hanya berisi mengenai pengumuman-pengumuman mengenai
peraturan pemerintahan Hindia – Belanda pada masa itu dan ruang lingkup persnya
masih sangat terbatas. Negara masih menguasai pers dan menggunakannya sebagai
alat untuk melegalitas kekuasaan terhadap rakyat atau masayarakatnya. Dan juga
konten pers yang terbit pada masa itu masih melalui kontrol serta sensor agar
tidak merugikan ataupun menjelek-jelakkan pemerintahan colonial yang tengah
menguasai Indonesia pada saat itu.
2. Era
Penjajahan Jepang
Masih hampir
sama, pada masa penjajahan Jepang pers Indonesia masih dibatasi pergerakannya
dan butuh ijin khusus untuk dapat membuat surat kabar ataupun usaha penerbitan
lainnya. Bentuk pers pada masa ini masih sama pada saat penjajahan colonial
Belanda, yakni pers yang masih “Authoritarian”
karena pers sangat dibatasi pergerakannya dan sangat diawasi betul oleh
pemerintahan jepang pada saat itu. Selain itu pers juga digunakan sebagai alat
propaganda Jepang untuk merebut hari masyarakat Indonesia dengan menggunakan
slogan-slogan seperti Jepang adakah saudara tua Indonesia misalnya.
3. Era
Perjuangan Kemerdekaan
Pada era ini
pers digunakan dengan maksimal dan betul-betul dimanfaatkan untuk mendukung
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang tengah mendapat serangan
dari Belanda atau disebut Agresi Belanda dan pemberontakan-pemberontakan yang
ada di daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Bisa dikatakan pers
kita saat itu menganut sistem yang “Libertarian”
atau Liberal karena adanya kebebasan pers yang cukup memadai serta pers
digunakan sebagai alat mencari kebenaran dan sebagai pengawas pemerintah.
Atau bisa
juga campuran antara sistem Libertarian dengan
Authoritarian, karena pers Indonesia
yang masih belum stabil dikarenakan pada masa awal kemerdekaan Indonesia yang
membutuhkan dukungan dari segala pihak, termasuk pers, dan pemerintah
menggunakan pers untuk memperkuat legitimasinya pada rakyat agar setia dan mau
berkorban untuk Negara melalui propaganda mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
4. Era
Demokrasi Parlementer
Setalah
lepas dan dapat “mengusir” kembali Belanda dari tanah air tercinta, pers
Indonesia mulai berkembang. Dengan kebebasan pers yang sangat besar, setiap
orang dapat membuat media pers sendiri dan tanpa harus membuat ijin yang sulit.
Sistem pers Indonesia saat itu adalah sangat “Libertarian” karena begitu banyaknya Koran-koran yang mulai terbit,
dan ini digunakan oleh partai dan golongan-golongan yang ada pada saat itu
sebagai “corong” mereka dalam bersuara. Mereka menggunakan pers mereka sebagai
alat untuk kepentingan mereka, bukan sebagai alat pencari kebenaran sehingga
fungsi pers pada saat itu sangat melenceng jauh dari apa yang diinginkan. Pers
banyak yang didanai oleh partai ataupun golongan-golongan tertentu sehingga
mereka tidak dapat berdiri mandiri dan tidak adanya independensi yang membuat
berita-berita yang mereka sampaikan hanya berisi hal-hal yang baik mengenai
partai ataupun golongan mereka.
5. Era Demokrasi
Terpimpin
Dikeluarkannya
dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno yang ingin mengganti sistem
demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, pers pun ikut kena imbasnya. Di
era demokrasi terpimpin ini bila ada pers yang tidak sejalan dengan pemerintahan
(Soekarno) maka pers tersebut tak segan-segan akan ditutup atau dilarang untuk
terbit, pers hanya dijadikan alat untuk memobilisasi massa dan corong penguasa
terhadap rakyatnya, pers Indonesia kembali lagi mencicipi sistem pers yang Authoritarian di mana negaralah yang
mengatur segalanya.
6. Era Orde
Baru
Era orde
baru bisa dikatakan era yang stabil bila dibandingkan dengan era-era
sebelumnya. Pada era orde baru pemerintah tengah sibuk menyetabilkan keadaan
serta dalam rangka pembangunan. Sistem pers Indonesia pun kembali berubah, sistem
yang digunakan adalah sistem Sosial Responsibility di mana pers memiliki
tanggung-jawab terhadap masyarakat, setiap berita harus ada
pertanggung-jawabannya.
Bila
diidentifikasi lagi sebetulnya di luar keempat teori pers Siebert dan
kawan-kawan, dalam tahap ini pers Indonesia masuk pada masa pers pembangunan,
yaitu menurut teori Mc Quail yang berpendapat bahwa pers pembangunan muncul
pada negara dunia ketiga yang belum memiliki sistem komunikasi yang baik
seperti: Infrastruktur Komunikasi, Ketrampilan Profesional, Sumberdaya Produksi
dan Kultural, dan Audiens. Pada sistem ini pers harus digunakan secara positif
dalam pembangunan nasional, otonomi, dan identitas kebudayaan nasional.
Dalam rangka
pembagunan Indonesia yang tengah gencar-gencarnya, media pers juga diberi
kebebasan yang bertanggung-jawab. Untuk kepentingan itu pada masa orde baru
muncul yang namanya pers pancasila. Sifat pers pancasila merupakan pers yang
melihat segala sesuatu secara proporsional. Pers pancasila mencari keseimbangan
dalam berita atau tulisannya untuk kepentingan serta kemaslahatan semua pihak
sesuai dengan konsensus demokrasi pancasila. Negara yang menganut pers
pancasila yaitu Indonesia.
7. Era
Reformasi
Reformasi memberi angina segar untuk
dunia pers, karena pada masa sebelumnya pers selalu dikekang oleh pemerintah
dalam setiap kegiatannya dengan alasan untuk kepentingan nasional maka pers
harus manut dengan pemerintah.
Reformasi membawa kembali apa yang pers inginkan, yakni kebebasan dalam pers.
Pada masa reformasi ini sistem pers kita seperti bercampur dan bisa dikatakan
pers Indonesia itu unik, karena ada perpaduan antara sistem Libertarian, Social Responsibility, dan
Pers Pembangunan. Selain itu dengan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah
mulai timbul industrialisasi pers yang pers banyak dikomersialisasikan dan
monopoli pers oleh swasta, ini membuktikan semakin bergeliatnya dunia pers
Nusantara, yakni sesuai dengan teori Pers
Partisipan Demokratik.
Daftar Bacaan:
Comments
Post a Comment