Profil Masyayikh Futuhiyyah

KH. Abdurrohman bin Qoshidil Haq (1872-1942)
KH. Abdur Rahman dilahirkan dan dibesarkan di kampung Suburan Desa Mranggen Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak pada tahun 1872 M., adalah putra dari seorang guru ngaji yang sholih yaitu KH. Qoshidil Haq bin Abdullah Muhajir. Selain mengajar juga berkebun dan menyewakan sebagian rumahnya untuk penginapan para pedagang luar kota.
            Sejak kecil KH. Abdur Rahman dididik oleh Abah beliau sendiri. Setelah beranjak dewasa, beliau belajar di Pondok Pesantren di daerah Tayem Purwodadi Jateng.
Karena mengikuti jejak pendahulu-pendahulunya yang selalu belajar tidak hanya kepada satu guru, beliaupun kemudian berangkat ke Pondok Pesantren yang berada di seberang sungai Brantas Jatim. Kemudian terakhir belajar di Pondok Pesantren Sapen Penggaron Semarang (dulu ikut Kabupaten Demak) yang diasuh KH. Abu Mi’raj yang akhirnya beliau diambil menjadi anak mantu guru beliau sendiri.
           
Dan beliau belajar tidak hanya pada waktu di Pesantren saja, setelah menetap dirumah selain mengajar beliau juga belajar antara lain kepada Hadhrotus Syaikh Sholeh Darat, seorang ulama kenamaan dari Semarang Barat, juga pada KH. Ibrohim Brumbung Mranggen dari sinilah beliau mendalami ilmu Thoriqot Qodriyah Wa-n Naqsyabandiyyah,
Simbah KH. Ibrohim kemudian berkenan mewisuda beliau menjadi Kholifah setelah lulus ujian ; yaitu pada suatu hari KH. Ibrohim berkata kepada murid-muridnya : ” Barang siapa yang nanti tidak batal sholatnya maka dialah yang berhak menyandang kholifah “. Ditengah-tengah sholat jama’ah berlangsung terlihatlah seekor ular yang merayap dari simbah KH. Ibrohim menuju para ma’mum, tentu saja hal ini membuat para ma’mum ketakutan lari tunggang langgang dan membatalkan sholatnya. Kecuali KH. Abur Rahman yang masih tetap khusyu’ meneruskan sholatnya, maka dengan demikian beliau dinyatakan berhak untuk menyandang kholifah Thoriqoh Qadiriyah wan Naqsabandliyah.
            Dalam hal berkominikasi dengan para pedagang Arab, beliau menunjukkan kemampuan dan kemahirannya dalam  berbahasa Arab, sehingga mereka mempercayai beliau untuk membawa barang dagangannya terlebih dahulu
            Beliau adalah profil seorang yang konsekwen dan berdedikasi tinggi, beliau menyadari sebagaj seorang yang mempunyai ilmu, tentu mempunyai kewajiban tugas dan tanggung jawab yang tinggi untuk senantiasa mengamalkan ilmu-ilmu yang dikuasai demi pengabdian kepada Allah dan Rasul-Nya, Agama, Nusa dan Bangsa, maka oleh karena itulah, beliau dalam keseharian selalu melayani dan berkhidmah kepada masyarakat, santri dan keluarganya demi mencari ridho Allah Azza wa Jalla.
            Dalam hal keduniaan, beliau juga mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, oleh karena itu beliau tidak segan-segandan malu-malu untuk menampakkan dirinya sebagai seorang pedagang kecil-kecilan, tentu sebagai seorang yang punya ilmu dalam berdagangpun beliau selalu amanah, dapat dipercaya dan yang paling disukai oleh pelanggannya beliau tidak pernah mengambil untung banyak. Oleh karena beliau mempunyai pelanggan yang banyak. Dan sekalipun begitu beliau tidak pernah berangkat jualan, sebelum mengerjakan amalan rutinnya, yaitu shalat Dhuha, sekalipun di Pasar sudah ditunggu para pelanggannya.
Dari kepribadian beliau inilah masyarakat mulai simpati dan tertarik kepada beliau sehingga ada diantara mereka yang ikut nengaji kepada beliau dan sebagiannya menyruruh putranya, hanya pada saat itu, yang menyantri semuanya menjadi santri kalong, artinya pada malam hari mereka mengaji dan pagi harinya mereka pulang untuk bekerja atau membantu orang tua.
            Beliau juga dikenal sebagai seorang yang luwes dalam setiap pergaulan. Sehingga nampak sifat beliau apablia bergaul dengan Kyai akan nampak kekiyaiannya, bergaul dengan bangsawan nampak kebangsawanannya.
KH. Abdurrohman sempat beristri dengan Ibu Nyai Suripah ipar KH. Ibrohim Brumbung Mranggen dan dikaruniai empat orang putra namun kesemuanya dipanggil Allah SWT, waktu masih usia kecil yakni setelah ibu Suripah menghadap kehadirat Allah SWT.
            Kemudian beliau menikah lagi dengan Hj. Shofiyyah (nama kecil Fatimah) binti KH. Abu Mi’roj bin Ky. Syamsudin Penggaron Semarang,
Beliau dengan Nyai Hj. Shofiyyah dikaruniani sebelas Putra-putri diantaranya adalah :
  1. Hafsoh ( lahir di kapal dalam perjalanannya menuju ke tanah suci, dan meninggal di Jakarta dalam perjalanannya pelang ke tanah air )
  2. KH. Usman (wafat 1967)
  3. Bashiroh (meninggal sewaktu kecil)
  4. KH. Muslih (Wafat tahun 1981)
  5. KH. Murodi (Wafat tahun 1980)
  6. Rohmah (meninggal sewaktu kecil)
  7. KH. Fathan (Wafat tahun 1945)
  8. KH. Ahmad Muthohar (meninggal 2005)
  9. Hj. Rohmah Muniri (meniggal)
  10.  Faqih (meniggal sewaktu kecil)
  11.  Tasbihah Muhri (masih hidup)
            Tiada jalan yang tak berujung, tiada awal yang tak berakhir demikian pula halnya dengan simbah KH. Abdur Rahman setelah menekuni jalan kehidupannya dengan penuh pengabdian, menyebarkan syariat agama Islam dan setelah mengenyam pahit getirnya kehidupan ini mulai dari seorang santri sampai menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat disegani, patut medapatkan acungan jempol dan menjadi anggota masyarakat yang patut mendapatkan penghargaan, setelah mengabdikan diri-nya kepada Allah dan Rasul-Nya, beliau menghadap Ilahi Robbi-l Alamin, Tuhan semesta Alam, memenuhi panggilan-Nya pada tanggal 20 Dzulhijjah 1360 H / 1941 M. dalam usia 70 tahun.
            Semoga semua amal beliau diterima Allah dan dapat balasan yang lebih besar dan mulia dari dunia dan seisinya. Amin.
فجزاه الله عنا وعن المسلمين خيرا كثيرا وغفر ذنوبه وأسكنه فى فسيح جنته مع النبيين والمرسلين والأولياء والشهداء والصالحين آمين
*****
KH. Utsman bin Abdurrohman

Syeikh KH. Muslih Abdurrohman adalah ulama ‘allamah  yang pernah mengasuh pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen sejak tahun 1936-1981 Masehi. Beliau sangat berjasa dalam mengembangkan dan membesarkan pon-pes Futuhiyyah Mranggen berkat fadhol dan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla hingga dapat melahirkan banyak Kiai dan Ulama’ yang tersebar di Jawa khususnya dan Indonesia umumnya.
KH. Muslih bin Abdurrohman (1908 – 1981)
Beliau berjasa pula dalam menyebarkan thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa/ Indonesia, hingga melahirkan banyak Kiai Guru Musdyid Thoriqoh tersebut. Disamping berjasa sebagai salah seorang pendiri dan salah seorang Ro’is Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh di Indonesia yang dikenal sekarang dengan Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Nahdliyah itu beliau juga ikut aktif mengembangkan dan membesarkan Jam’iyyah tersebut hingga akhir hayat pada tahun 1981 Masehi.
Oleh karena itulah beliau dapat disebut sebagai Abul Masyayekh dan Syeikhul Mursyidin. Ghofarollohu wa Rohimah wa Qoddasallohu Asroroh wa Yamiddunabi asrorihi wa Barokati wa ulumihi wa karomatihi wa maunatihi wa Syafa’atihi wa jami’i ahli silsilatihim wa Ushuluhim wa yulhiquna bihim fi khoirin wa sa’adatin wa salamah. Allahumma amiin.
Beliau berjasa pula dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang, baik anggota laskar Hizbulloh yang berlatih kemiliteran bersama Syeikh KH. Abdulloh Abbas Buntet Cirebon dalam satu regu di Bekasi Jawa Barat dan menjadi Komando pasukan sabilillah yang beranggotakan para kiai/ulama’ di wilayah Demak Selatan/Front semarang wilayah Tenggara.
Beliau wafat pada bula Syawal 1981 Masehi, dengan mewariskan pon-pes Futuhiyyah yang besar untuk dilestarikan dan dikembangkan lebih lanjut. Dan Al-Hamdulillah pon-pes Futuhiyyah Mrangen tetap lestari dan berkembang hingga saat ini. Semoga demikian seterusnya hingga akhir masa. Allahumma amiin
Syeikh KH. Muslih bin Syeikh KH. Abdurrohman dan Hj. Shofiyah, asli/kelahiran Suburan Mranggen Demak, pada tahun 1908 Masehi. Beliau adalah adik kandung dari Syeikh KH. Utsman bin Syeikh KH. Abdurrohman. Silsilah Syeikh KH. Muslih bin Abdur Rahman dari ayah adalah sebagai berikut:
Syeikh KH. Muslih bin Abdur Rahman bin Qosidil Haq bin Raden Oyong Abdulloh Muhajir bin Raden Dipo Kusumo bin Pangeran Wiryo Kusumo / Pangeran Krapyak bin Pangeran Sujatmiko atau Wijil II / Notonegoro II bin Pangeran Agung atau Notoprojo bin Pangeran Sabrang bin Pengeran Ketib bin Pangeran hadi bin Kanjeng Sunan Kalijogo, hingga Ronggolawe Adipati Tuban I atau Syeikh Al-Jali / Syeikh Al-Khowaji, yang berasal dari Baghdad keturunan Sayyidina Abbas r.a paman Rasulullah SAW.
Sedangkan silsilah dari Ibu adalah sebagai berikut:
Syeikh KH. Muslih binti Shofiyyah binti Abu Mi’roj wa binti Shodiroh, hingga bersambung pada Ratu Kalinyamat binti Trenggono Sultan Bintoro Demak II bin Sultan Bintoro Demak I / Raden Fatah bin Raden Kerto Wijoyo / Darmo Kusumo Brawijaya I Raja Majapahit. Ratu Kalinyamat istri Sultan Hadliri yang berasal dari Aceh dan menjabat sebagai Adipati Bintoro Demak di Jepara. Sedangkan istri Sultan Trenggono adalah putri Kanjeng Sunan Kalijogo dan istri Sultan Fatah / Ibu Sultan Trenggono adalah putri Kanjeng Ampel Surabaya, dzuriyyah Rasulullah SAW.
Syeikh KH. Muslih Abdurrohman menikah dengan Nyai Marfu’ah binti KH. Siroj dan mempunyai putra-putri :
  1. Al-Inayah, istri Syeikh KH. Mahdum Zein
  2. KH. M.S. Luthfi Hakim Muslih Bc.Hk (Almarhum) sebagai pengasuh utama I pondok pesantren Futuhiyyah sejak tahun 1971 Masehi
  3. Hj. Faizah, isteri Syeikh KH. Muhammad Ridwan Kholilurrohman.
  4. KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc, sebagai pengasuh utama II pondok pesantren Futuhiyyah sejak tahun 1985 Masehi
  5. Putra-putra lainnya meninggal sejak kecil
Setelah Nyai Marfu’ah wafat pada tahun 1959 Masehi, Syeikh KH. Muslih Abdurrohman menikah lagi dengan Nyai Mu’minah Al-Hafidhoh/ Al-Hamilah binti KH. Muhsin (ayah KH. Muhibbin Al-Hafidz, pengasuh pon-pes Al-Badriyyah Mranggen) dan berputra :
  1. Hj. Qoni’ah istri KH. Masyhuri, BA
  2. Hj. Masbahah, isteri Syeikh KH. Abdurrohman Badawi atau Syeikh Dur.
Setelah Nyai Mu’minah wafat pada tahun 1964 Masehi, Syeikh KH. Muslih Abdurrohman menikah lagi dengan Hj. Sa’adah binti H. Mahmud, Randusari Semarang sampai sekarang beliau masih hidup, semoga thowil umur ala husnil khotimah fi tho’atillah fil afwi wal afiyah wassalamah was sa’adah di daruun-min fadlillah wa rohmatillah Allahumma amiin.
Begitu pula keluarga dan dzuriyyah Syeikh KH. Muslih bani Abdurrohman dan para santri dan alumni pon-pes Futuhiyyah Mranggen dan cabang-cabangnya, para muhibbin beliau berikut para pejuang fi Sabilillah termasuk KH. Abdurrohman Wahid (Gus Dur) dan keluarga masing-masing Allahumma amiin.
Secara ringkas, pendidikan yang ditempuh Syeikh KH. Muslih Abdurrohman dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Belajar pada orang tua sendiri, yaitu Syeikh KH. Abdurrohman bin Qosidil Haq
  2. Belajar di pondok pesantren termasuk madrasahnya Syeikh KH. Ibrohim Yahya Brumbung Mranggen, di samping belajar pula saat pergi Haji bersama beliau
  3. Belajar di pondok pesantren mangkang kulon
  4. Belajar di pondok pesantren Sarang Rembang milik Syeikh KH. Zuber dan Syeikh KH. Imam, disini beliau sambil belajar/santri kalong kepada Syeikh KH. Maksum, Lasem Rembang.
  5. Belajar-mengajar di pondok pesantren Termas Pacitan
  6. Belajar ilmu thoriqoh dan bai’at mursyid di Banten yaitu Syeikh KH. Abdul Latif Al-Bantany.
  7. Belajar kepda Syeikh Yasin Al-Fadany Al-Makky di Mekkah
  8. Belajar ilmu ekonomi / dagang
  9. Belajar ilmu kemiliteran
Dari hasil pendidikannya tersebut Syeikh KH. Muslih bin Abdurrohman termasuk ulama’ Allamah Ahli Ilmu-Kalam Bahasa-Arab (Nahwu, Shorof, Balaghoh, hingga ilmu Mantiq dan Arudh ) Ahli Ilmu Kalam / Tauhid, Ahli Ilmu Syari’ah Tafsir, Hadits. Ushul Fiqih dan Fiqih. Ahli ilmu Tasawuf – Ahli IlmuThoriqoh Mu’tabaroh hingga ahli pula dalam Ilmu Kepemimpinan Ilmu Kependidikan. Ilmu Siasah, Ilmu Hikmah, Ilmu Jihad fi Sabilillah termasuk Ilmu Kemiliteran. Oleh karena itu beliau sangat pantas menjadi Guru Mursyid Thotiqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah bahkan menjadi Syeikhul Mursidin atau guru para mursyid, sebab beliau telah memenuhi persyaratan sebagai Guru Mursyid sebagai mana yang dianjurkan oleh Sayyidina Abdul Qodir Al-Jaelani, r.a, yang mana seseorang mursyid itu seharusnya : Memiliki Ilmu Ulama’ (Ahli Agama Islam)
  1. Memiliki Ilmu Siasah (Politik Pemerintahan)
  2. Memiliki Ilmu Hikmah (kebijaksanaan Ahli ilmu hukum Islam)
Syeikh KH. Muslih ternyata belajar dan mengajar sebagaimana tersebut dalam Manaqib As-Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani r.a, yaitu Tafsir dan Ilmu Tafsirnya, Hadits dan Ilmu Muthola’ah Haditsnya, ilmu fiqh dan hilafiyahnya, ilmu Ushuluddin (ilmu kalam) dan ilmu Ushul Fiqih, ilmu Qiro’ah/Tajwid, ilmu nahwu, ilmu shorof, ilmu ma’ani, ilmu bayan, badi’, ilmu arudh, ilmu qowafi, ilmu mantiq, dan ilmu tasawuf / ilmu thoriqoh.
Ilmu-ilmu tersebut semuanya diajarkan di pon-pes madrasah, kecuali ilmu thoriqoh / ilmu tasawuf.
Di samping ilmu-ilmu tersebut Syeikh KH. Muslih Abdurrohman di waktu mudanya juga rajin belajar ilmu-ilmu kanuragan dan ketabiban islamy maupun do’a-do’a / aurod yang khusus, termasuk aurod khusus untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat lagi barokah.
Ilmu manfa’at ialah ilmu yang dapat diamalkan sendiri (dirinya dapat beribadah billah sesuai dengan ilmu yang diperolehnya, sebab fadhol dan rohmat kepada Allah s.w.t). sedangkan ilmu yang barokah ialah ilmu yang sudah dapat ditularkan kepada orang lain, melalui pendidikan dan pengajaran maupun nasehat, baik secara langsung ,aupun tidak langsung (melalui tulisan dalam buku / kitab yang disusun, digandakan dan dibaca oleh orang lain).
Selain belajar ilmu-ilmu tersebut beliau sempat belajar bagaimana cara mengajar yang baik (guru yang berhasil) dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajran sistem klasikal (madrasah) saat beliau mondok di Termas, pacitan.
Sebelum beliau di Termas, sepulang dari pondok Sarang beliau bersama kakaknya, yaitu Syeikh KH. Utsman bin Abdurrohman sempat belajar dagang pakaian jadi di pasar Mranggen, selama satu tahun, atas perintah orang tuanya agar merasakan bagaimana susahnya orang bekerja mencari rejeki (dalam setahun kerja, ternyata laba dan tidak rugi) setelah itu beliau berangkat ke Termas memnuhi perintah Syeikh KH. Maksum Lasem sekalian ingin menambah ilmu dan pengalaman.
Syeikh KH. Muslih Abdurrohman selain berjuang demi terwujudnya suatu pribadi yang baik serta menjadi ulama pejuang yang Islami, ternyata beliau juga berjuang fi sabilillah di sisi yang lain, yaitu :
Menjadi pengasuh pendidikan pesantren, termasuk pengajian dan bai’at thoriqoh qodriyyah wa naqsyabandiyyah
  1. Mendirikan menyelenggarakan pendidikan madrasah / sekolah Futuhiyyah
  2. Menjadi pengasuh utama popn-pes Futuhiyyah
  3. Memperluas lokasi / areal pondok pesantren
  4. Merehab dan membangun Prasarana pondok pesantren. Termasuk membangun masjid An-nur di kompleks pon-pes Futuhiyyah
  5. Menjadi anggota pengurus G.P Ansor Mranggen dan Lasykar Hizbullah Mranggen.
  6. Menjadi pengurus jam’iyyah NU
  7. Menjadi komandan barisan sabilillah, sektor semarang timur
  8. Ikut mendirikan dan menjadi pengurus jam’iyyah thoriqoh mu’tabaroh Indonesia
  9. Mendirikan dan menjadi pengurus jam’iyyah thoriqoh nahdliyah
  10. Mendirikan madrasah aliyah persiapan FHI UNNU Mranggen
  11. mendirikan FHI UNNU Fikal Surakarta di Mranggen
  12. Mendirikan/ menyelenggarakan Madrasah dan sekolah Formal
Sebelum Syeikh KH. Muslih mondok kembali di pondok pesantren Termas, beliau sempat mukim di rumah yaitu Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1931 Masehi selama satu tahun, setelah kembali dari mondok di pondok pesantren Sarang.
Pondok pesantren yang telah di rhabilitasi pada tahun 1927 Masehi, atas perintah Syeikh KH. Abdurrohman, telah berhasil menampung puluhan santri, namun aktivitas madrasah tersebut menjadi terhenti, setelah diminta oleh NU Cabang Mranggen.
Akhirnya Syeikh KH. Muslih berusaha mendirikan kembali Madrsah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di kompleks pon-pes Futuhiyyah dengan tekad tidak boleh diminta oleh NU lagi. Jika NU ingin mengelola madrasah lagi supaya mendirikan sendiri.
Selang beberapa waktu, pondok pesantren Futuhiyyah pernah mendirikan madrasah dua kali pada tahun 1927 dan 1929 Masehi. Selama dua kali mendirikan, dua kali pula diminta oleh NU cabang Mranggen dengan cara bedol madrasah, murid dan gurunya dipindah tempat, yang kemudian dikelola oleh NU cabang Mranggen dan dua kali pula terhenti.
Setelah madrasah yang didirikan oleh Syeikh KH. Muslih berjalan lancar, satu tahun kemudian diserahkan kepada adik beliau, yaitu Syeikh KH. Murodi setelah mukim kembali dari mondok di Lasem dan para gurunya, dengan pesan agar tidak boleh di pindah lagi, karena beliau akan mondok lagi ke Termas.
NU cabang Mranggen, akhirnya mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat hidup hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang di kenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah.
Syeikh KH. Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh Syeikh KH. Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas yang diajar oleh Syeikh KH. Ali Maksum (kelas Alfiyah Ibnu Malik). Semula Syeikh KH. Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar alifiyyah. Beliau tetap dipaksa dan dibujuk dengan kata-kata nanti saya ajari oleh Syeikh KH. Ali Maksum hanya sekali mengajari Syeikh KH. Muslih sebagai persiapan mengajar Alfiyyah, yaitu pada malam sebelum esok harinya mengajar, lalu beliau menghilang.
Dengan berat hati Syeikh KH. Muslih mengajar di kelas yang ditingalkan Syeikh KH. Ali Maksum. Dan kira-kira setengah bulan kemudian, Syeikh KH. Ali Maksum baru muncul dan bertanya kepada murid-muridnya kelas tersebut, bagaimana hasil kerja Ustadz baru, murid-murid menjawab baik dan puas, setelah itu Syeikh KH. Muslih di tetapkan sebagai guru kelas tersebut.
Suka-duka Syeikh KH. Muslih tidak menghalangi untuk berenovasi menjadi guru yang baik dan ini terbukti saat dimana santri-santri senior yang ada di Termas tidak disuruh mengajar, justru santri barunya yang disuruh mengajar, yaitu Syeikh KH. Muslih, maka oleh santri-santri senior tersebut, kursi tempat duduknya dirawe ( diberi bulu buah rawe agar gatal-gatal, hingga tidak jadi mengajar ). Dengan berbekal ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah akhirnya Syeikh KH. Muslih pulang dan mukim kembali di Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1935 Masehi, dengan tekad akan mengembangkan pondok pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Dan Alhamdulillah pada tahun 1936 Masehi berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah yang bukan MI karena pelajarannya sudah setingkat dengan Madrasah Wustho dan Madrasah Tsanawiyah yang diselenggarakan pada pagi hari.
Mengenai bagaimana teknis oengumuman PMB yang dilakukan saat itu, sementara saat itu tidak ada radio, tidak ada stensil, tidak ada mesin tulis apalagi fotocopy, tetapi yang jelas, madrasah tersebut penuh dengan murid dan pondoknya semakin banyak jelas santri mukimnya, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan mranggen dan sekitarnya hingga gubug-purwodadi, hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul Kiai yang alim.
Sesudah tahun 1950 Masehi pon-pes Futuhiyyah semakin berkembang santrinya mukimnya semakin bertambah (antara 300 – 400), disamping santri lajo ya ng masih belajar di madrasah maupun sambil mengaji wetonan, berikut datangnya santri pengajian thoriqoh yang dibuka mulai tahun 1950 Masehi. Adapun penyebabnya adalah bervariatif, mungkin Syeikh KH. Muslih dikenal sebagai Kiai yang termasuk enak ngajinya, atau karena adanya aktivitas da’wah dari para mubalighin termasuk Syeikh KH. Abdul Hadi yang malang melintang berda’wah seantero jawa Tengah dan sebagainya.
Singkatnya, apa yang telah terwujud itu adalah fadhol dan rohmat Allah s.w.t, yang harus diyakini berkat syafa’at ahli silsilah ilmu Islami aurod mujahadah dan riyadhoh, termasuk dzikir thoriqoh. Khususnya Syeikh KH. Ibrohim Yahya Brumbung, Syeikh KH. Abdurrohman wa ushulih, Syeikh KH. Hadi Giri Kusumo, Syeikh KH. Abu Mi’roj Sapen, serta para auliya’-syuhada’ tanah Jawa hingga Walisembilan dan K.S. Fatah beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qodir AL-Jaelani r.a. dan ahli silsilahnya hingga Rasulullah SAW.
Syeikh KH. Muslih Abdurrohman selaku pimpinan/ pengasuh pon-pes Futuhiyyah harus berjuang pula mencukupi kebutuhan Prasarana dan Sarana pondok pesantren termasuk keperluan dalam menyelenggarakan madrasah, seiring denga perkembangan pondok pesantren yang maju pesat. Selain dengan harta pribadi beliau menggerakkan pula partisipasi aktif dalam pembangunan pondok pesantren Futuhiyyah baik dari santrinya, para wali santri maupun masyarakat baik berbentuk sumbangan tenaga, material maupun uang. Adapun sumber-sumber yang lain berasal dari sumbangan Pemerintah.
Pada masa hidup beliaum partisipasi santri sangat besar sekali dalam pembangunan pondok pesantren Fututhiyyah, sebagai pengamalan ilmu, ikut andil dalam Jariyyah, bersatu dan bergotong royong secara ikhlas merealisasi Program Pembangunan sekaligus nyadong berkah dari Allah SWT, untuk keperluan hidupnya di dunia dan akhirat kelak.
Pada masa Syeikh KH. Muslih Abdurrohman mengasuh pondok pesantren Futuhiyyah, yang semula lebih dikenal pondok Suburan Mranggen, sarana dan prasarana yang pernah dibangun pada tahun 1926 Masehi oleh Syeikh KH. Utsman tidak memadai lagi, karena santri yang mukim semakin banyak. Maha Syeikh KH. Muslih Abdurrohman segera mendirikan madrasah baru yang minimal berjumlah tujuh belas, dan bertempat di rumah-rumah milik Syeikh KH. Abdurrohman beserta adik kandung dan adik iparnya. Kemudian ditambah pula adanya satu ruang serbaguna yang mampu menampung murid dua lokal.
Sarana dan prasarana pondok pesantren pada umumnya adalah wakaf yang berujud tanah yang berasal dari pendiri. Oleh karena itu pengasuh pondok pesantren mengajak masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan maupun pengembangan sarana dan prasarana pondok pesantren termasuk madrasahnya dalam rangka amal jariyah / ibadah yang lillahi ta’ala.
Pada tahap pertama, sarana dan prasarana pon-pes Futuhiyyah sendiri disediakan oleh Syeikh KH. Abdurrohman dan famili maupun tetangga, baik berbentuk material, finansial maupun tenaga kerja. Begitu pula masa Syiekh KH. Muslih, beliau dan isterinya, yaitu Nyai Marfu’ah binti KH. Siroj, Prampelan Sayung ikut menyediakan tanah perluasan lokasi yang dibeli dari famili tetangga sekitar komplek pondok pesantren ditambah adanya wakaf rumah oleh mertuanya beserta biaya pembangunannya.
Syeikh KH. Muslih juga mengajak pula umat Islam ikut berpartisipasi, hasilnya Syeikh KH. Muhammad Zuhri Giri Kusumo dan keluarga berikut kaum muslimin sekitarnya termasuk murid dan santrinya, ikut menyediakan batu kali, bahkan pondasi yang diangkut ke Mranggen dengan lori (angkutan kayu dari hutan ke Mranggen), batu merah, pasir dan semen merah (bubukan batu bata) yang disediakan oleh pengusaha Pucang Gading dan Penggaron, baik dengan cara dibeli maupun shodaqoh jariyah. Sedangkan material lainnya, seperti kapur, kayu, bangunan, bambu, dan lain-lain, itu semua disediakan oleh wali murid, murid thoriqoh dan lain-lain termasuk umat Islam di Mranggen, baik berbentuk material langsung maupun dana beserta bahan makanan.
Selain itu Syeikh KH. Muslih Abdurrohman mengajak pula umat Islam menyumbangkan tenaganya pada saat mendirikan pondok pesantren, para tenaga tersebut berasal dari Jawong, kebun batur, kangkung dan lain-lain, termasuk menggali dan mengusung tanah urugan, disamping itu diwajibkan kepada para santri untuk ro’an (kerja bakti) baik secara harian, bergilir maupun secara bersama-sama pada saat tertentu yaitu pada saat membutuhkan tenaga yang banyak seperti mengusung batu pasir, rumah wakaf, dan sebagainya.
Ro’an termasuk tradisi pesantren yang perlu dilestarikan sebab keikutsertaan santri dalam ro’an serarti andil dalam jariyah dan pengamalan ilmu, sekaligus ikhtiar mempercepat selesainya pembangunan, sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Ro’an pada hakikatnya adalah melatih santri agar terbiasa melakukan gotong royong untuk hidup bermasyarakat sebagai aplikasi dari kehidupan Islam, yang telah dimasyarakatkan sejak Kasultanan Bintoro Demak atau wali sembilan dan penerusnya, sebab pengumpulan dana pembangunan atau amal jariyah dari masyarakat hasilnya tidak mencukupi terhadap rencana anggaran pembangunan.
Dalam mengumpulkan dana pembangunan atau amal jariyah selain dari para santri atau wali dan murid thoriqoh Syeikh KH. Muslih Abdurrohman mengurus pula kepada para santri senior untuk mencari ke masyarakat Mranggen ataupun ke kampung halaman santri, termasuk saat membangun atau menyempurnakan gotaan atau kamar yang di tempati oleh santri. Dalam hal ini Syeikh KH. Muslih Aburrohman pernah pula mengerjakannya sendiri dalam usaha mencari dana pembangunan pondok pesantren, ke pasar Johar Semarang dan umat Islam Kauman Semarang disertai satu atau dua orang anggota panitia pembangunan atau pengurus pondok.
Pondok yang pernah dibangun oleh Syeikh KH. Utsman (blok A dan B) yang berupa kamar-kamar dipindahkan ke bagian selatan. Setelah Syeikh KH. Muslih Abdurrohman menikah, beliau mendirikan Masjid dan pondok blok E di atas tanah wakaf dari isteri beliau (Nyai Marfu’ah binti KH. Siroj, Prampelan Sayung), masing-masing masih berbentuk bangunan kayu, berlantai geladak berbentuk trompo, dengan ukuran kurang lebih 80 cm di atas tanah untuk masjidnya dan 75 cm untuk blok E, hingga di bawah lantai bisa digunakan sebagai ruang makan. Adapun blok D yang pernah berjumlah tiga kamar dibangun pada tahun 1952 Masehi bersama mushola di samping rumah milik Syeikh KH. Muslih.
Setelah beberapa tahun berjalan Syeikh KH. Murodi menginginkan pondok di sampingnya menjadi cabang otonomi dari pon-pes Futuhiyyah dan diberi nama Pondok Pesantren Al-Fatah, yang kemudian Al-Fatah ini menjadi cabang otonomi pon-pes Futuhiyyah yang pertama dan kemudian disusul oleh pon-pes Al-Mubarok yang diasuh KH. Mahdum Zein yaitu menantu KH. Muslih yang pertama yang berdiri pada tahun 1960 Masehi, yang juga berawal dari mushola / langgar dengan pengajian Al-Qur’an dan lain-lainnya. Kemudian blok-blok pondok tersebut setelah masjid direhabilitasi pada tahun 1961 Masehi diubah menjadi blok Darul Salam. Darul Firdaus, blok Darul Huldi, Darul Na’im, dan Darul Ma’wa sebagai pengganti blok D / Pondok Syeikh KH. Ahmad Muthohar.
Penyelenggaraan madrasah yang sejak awalnya selain bertempat di ruang serbaguna pondok pesantren dan di rumah-rumah Syeikh KH. Abdurrohman / Syeikh KH. Muslih / Syeikh KH. Ahmad Muthohar, berempat pula diteras pondok blok B, C dan di dalam masjid, pasca perang kemerdekaan pada tahun 1949 Masehi. Jumlah lokasi kelas madrasah Futuhiyyah bertambah, hal ini disebabkan karena jumlah muridnya semakin banyak. Untuk itu, dua buah rumah familimilik Nyai Sa’iroh dan Nyai Aisyah dibeli berikut lokasinya oleh Syeikh KH. Muslih, lalu digunakan menjadi lokal-lokal madrasah dan pada tahun 1957 Masehi dibangunlah gedung madrasah di sebelah makam Syeikh KH. Abdurrohman yang menghadap ke barat.
Pada tahun 1959 Masehi dua rumah tersebut direhabilitasi menjadi gedung madrasah yang di sambung dengan gedung madrasah yang sudah berdiri pada tahun 1957 Masehi. Dan gedung tersebut pada akhirnya khusus digunakan untuk Madrasah Tsanawiyah Futuhiyyah-1 yang direhabilitasi menjadi bangunan tingkat dua lantai kayu sejak tahun 1965 Masehi.
Pada tahun 1961 Masehi pon-pes Futuhiyyah mendapat bantuan pemerintah untuk balai pengobatan. Karena tidak ada bantuan berupa tenaga medis dan obat-obatan maupun peralatannya, maka pada tahun 1963 Masehi bangunan tersebut digunakan sebagai ruang kelas M.W.B (M.I), bahkan sempat pula digunakan sebagai lokal madrasah Aliyah persiapan F.H.I UNNU pada tahun 1967 Masehi.
Pada tahun 1969/1970 pon-pes Futuhiyyah mendirikan lagi gedung pondok di sebelah utara masjid (leter L/el) sebanyak sepuluh kamar.
Pada tahun1975 pon-pwa Futuhiyyah mendirikan gedung SMP Futuhiyyah Berlantai dua secara bertahap sebanyak sepuluh lokal hingga tahun 1978 Masehi.
Pembangunan sarana dan prasarana pon-pes Futuhiyyah pada masa Syeikh KH. Muslih yang berlangsung terus menerus itu ternyata masih belum juga cukup bahkan hingga sampai sekarang masih direncanakan untuk mendirikan komplek pon-pes Futuhiyyah II di Batursari Mranggen, semoga demikian untuk seterusnya hatta yaumil qiyamah Allahumma amiin.
Sebelum Syeikh KH. Muslih wafat, beliau sempat pula memperbaiki menejemen pon-pes Futuhiyyah dengan membentuk badan penyelenggaraan pon-pes Futuhiyyah termasuk madrasah dan sekolah dalam lingkungan pon-pes Futuhiyyah dengan bentuk Yayasan Pondok Pesantren Futuhiyyah pada tahun 1977 Masehi, yang sekaligus membawahi pondok-pondok pesantren cabang yang berstatus sebagai cabang otonomi maupun yang diurus oleh pengasuh masing-masing.
Al-Hamdulillah pada tahun 1979 Masehi berkat fadhol dan rahmat Allah s.w.t, Yayasan Pondok Pesantren Futuhiyyah mendapatkan bantuan dari kerajaan Arab Saudi yang cukup besar, hingga dapat digunakan merehabilitasi gedung-gedung pon-pes Futuhiyyah secara total, disamping cukup untuk mendirikan kompleks madrasah putri dan madrasah Aliyah Futuhiyyah yang belum memiliki tempat permanen. Kemudian hasil rehab dan pembangunan pon-pes Futuhiyyah yang sekarang ada yaitu pada tahun 2001 Masehi, selain masjid adalah yang direhabilitasi sekitar tahun 1995 Masehi yang lalu sebagai kompleks gedung SMU Futuhiyyah dan sebagian kompleks MA Futuhiyyah 2 maupun MTs Futuhiyyah 2.


Sumber:
http://mtsfutuhiyyah2.wordpress.com/futuhiyyah/pondok-pesantren/profil-masyayikh/#comment-313  

Comments

  1. Salam.
    Mas Izza, apakah foto yang paling atas itu KH. Muslih Al Maraqi?
    Mohon izinnya untuk menyalinnya.
    Matur nuwun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. gambar yg paling atas itu Syeikh Abdurrohman bin Qoshidil Haq pendiri pertama PonPes Futuhiyyah, klo mbah Muslih itu foto ke 3 kang, hehehe

      monggo, silahkan dicopy :)

      Delete
  2. mas ada biografinya syaikh lutfi hakim muslih bin abdurrohman al-maraqi ga? yang nulis kitab nurul burhan..ada yang punya ngga?lagi butuh banget ini..syukron

    ReplyDelete
    Replies
    1. salah satu bacaan yang bisa dibaca, saudara bisa langsung meluncur ke http://sang-salik.blogspot.com/2012/11/manaqib-nurul-burhani-bacaan-populer.html

      mungkin lebih lengkap di sana :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

NASKAH DRAMA MINAK JINGGO DAN DAMARWULAN

Contoh Naskah Drama Teatrikal (Kampanye Stop KDRT Jateng 2016)

Contoh Script Acara Televisi (Tugas Produksi Tv)