SEJARAH SISTEM PERS DI INDONESIA

 SEJARAH SISTEM PERS INDONESIA



NAMA                 : MUHAMMAD  IZZAUL  HAQUE
NIM                     : G.311.13.0047
TUGAS               : DASAR – DASAR  JURNALISTIK
PROGDI              : ILMU  KOMUNIKASI  (A)



*      Sejarah Pers di Indonesia

Sebelum kita membahas sejarah pers di Indonesia, lebih dulu kita harus tahu apa itu pers? Secara etimologis, kata pers dalam bahasa Belanda, atau press dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin, yaitu pressare dari kata premere yang berarti tekan atau cetak.
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 13 disebutkan bahwa pers memiliki dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, pers adalah seluruh media baik elektronik maupun cetak yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, ulasan, laporan, dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Dalam arti sempit, pers hanya terbatas media cetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, bulletin dan majalah.  Secara yuridis formal, pengertian pers disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 1999 tentang pers yang menjelaskan bahwa “pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia.

Lalu seperti apa sejarah pers di Indonesia?


1.      Era Hindia – Belanda

Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.

Hadirnya Medan Prijaji  telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harianOetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni ApiHalilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia. Itulah sedikit mengenai sejarah pers pada era Hindia – Belanda.


2.      Era Penjajahan Jepang

Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. namun surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung.
Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.


3.      Era Perjuangan Kemerdekaan

Era pers ini terjadi ketika Indonesia baru saja lepas dari cengkaraman Jepang dan tengah dalam masa-masa awal kemerdekaan, antara pertengahan tahun 1945 – 1949. Pada era ini adalah saat bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Di mana Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan.
Saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan
:

o   Pers NICA, yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda. Pers ini berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk bekuasa di Indonesia.

o   Pers Republik, yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia. Pers Republik disuarakan oleh kaum republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu.


4.      Era Demokrasi Parlementer

Era pers Demokrasi Parlementer terjadi pada tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia menganut sistem parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah menjadi pers sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.

Pada tahun selanjutnya, pers dan wartawan di Indonesia masih diliputi suasana penuh tantangan akibat dari berlarut-larutnya revolusi dan masih manifesnya penjajah untuk kembali ke Indonesia. Dapat dikatakan bahwa setelah kemerdekaan, semangat yang menjiwai perjuangan kemerdekaan mulai luntur, terjadi persaingan keras antar kekuatan politik. Pers Indonesia ikut larut dalam arus ini, terjadi perubahan watak dari pers perjuangan menjadi pers partisipan. Pers sekadar menjadi corong partai politik. Meskipun pers bersifat partisipan, bisa dikatakan periode ini adalah masa bahagia yang singkat buat kebebasan pers, khususnya untuk wartawan politik. Inilah akhir periode kebebasan pers di Indonesia dan awal rezim Orde lama berkuasa.

5.      Era Demokrasi Terpimpin

Perkembangan pers selanjutnya memasuki babak selanjutnya, yakni babak demokrasi terpimpin yang terjadi akibat adanya gejolak-gejolak politik pada saat itu. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, lalu pada Februari 1957, Soekarno kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang diinginkannya. Sepanjang periode Demokrasi Terpimpin dan diberlakukannya Undang-Undang Darurat Perang, pers pun mengalami era terpimpin ini. Presiden Soekarno memerintahkan pers agar setia kepada ideologi Nasakom serta memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat. Soekarno tidak ragu-ragu untuk melarang surat kabar yang menentangnya. Sepanjang periode Demokrasi Terpimpin dan diberlakukannya Undang-Undang Darurat Perang, pers pun mengalami era terpimpin ini. Presiden Soekarno memerintahkan pers agar setia kepada ideologi Nasakom serta memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat. Soekarno tidak ragu-ragu untuk melarang surat kabar yang menentangnya.

Periode Demokrasi Terpimpin umumnya dikatakan sebagai periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini bisa dimaklumi karena persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers Indonesia telah melampaui batas-batas toleransi. Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik.

6.      Era Orde Baru

Setelah Orde Lama (orla) berakhir, maka Indonesia memasuki era baru, yakni Orde Baru (orba) yang timbul dari peristiwa G 30 S. Pers nasional pada masa Orde Baru adalah salah satu unsur penggerak pembangunan. Pemerintah Orde Baru sangat mengharapkan pers nasional sebagai mitra dalam menggalakkan pembangunan sebagai jalan memperbaiki taraf hidup rakyat.

Pada saat itu, pers menjadi alat vital dalam mengkomunikasikan pembangunan. Karena pembangunan sangat penting bagi orde baru, maka pers yang mengkritik pembangunan mendapat tekanan. Orde baru yang pada mulanya bersifat terbuka dan mendukung pers, namun dalam perjalanan berikutnya mulai menekan kebebasan pers. Pers yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah atau berlaku berani mengkritik pemerintah akan dibredel atau dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kita tentunya masih ingat dengan kasus yang dialami oleh majalah Tempo. Media tersebut pernah dicabut SIUPPnya akibat pemberitaan yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru.

Seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian dilatarbelakangi adanya keinginan sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan segala daya dan upaya, para elit berusaha membendung berbagai pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikan diri atau kroni-kroninya. Kehidupan pemerintahan diliputi dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde Baru pun akhirnya tumbang oleh kekuatan rakyat yang dimotori oleh para mahasiswa. Salah satu tuntutan mahasiswa - rakyat untuk adanya kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, yang berarti adanya jaminan kebebasan pers.

7.      Era Reformasi (Sekarang)

Reformasi yang lahir dari tuntuntan rakyat yang telah bosan ditekan dan dikekang oleh rezim orde baru. Reformasi membawa angina segar perubahan di segala lini kehidupan masyarakat dan Negara termasuk juga pers. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers.

Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.

Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
o    Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
o    Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
o    Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
o    Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
o    Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Walaupun sekarang kita bisa melihat bahwa pers tidak sepenuhnya dapat menjalankan apa yang diamanatkan oleh Undang – Undang dikarenakan kebebasan pers yang ada di reformasi ini tidak diimbangi dengan profesionalistas kebanyakan kalangan pers yang menjadikan komersialitas sebagai tujuannya bukan pembangunan serta pengawasan terhadap bangsa yang menjadi amanat dalam Undang – Undang. Namun di setiap masa ataupun era memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing, dan hal itu pula yang dapat semakin membuat dunia pers kita lebih berkembang dan belajar dari era – era sebelumnya untuk menjadi pembelajaran agar terbentuk pers Indonesia yang sesuai dengan pancasila serta mengembang tugas yang telah diberikan oleh Undang – Undang.

*      Analisa Sistem Pers Indonesia

Dari penjelasan di atas mengenai sejarah pers di Indonesia kita dapat menggolongkan atau menganalisa periode-periode mana yang menggunakan sistem pers ini dan sistem pers itu. Mengenai hal itu kita akan membahas dulu tentang empat teori pers dari Siebert, Peterson dan Schramm yang berpendapat “pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur sosial dan politik dimana ia beroperasi.

Berdasarkan sistem sosial dan politik yang berkembang saat itu maka mereka mengembangkan empat teori pers, antara lain:

1.      Authoritarian Theory
2.      Libertarian Theory
3.      Social Responsibility Theory
4.      The Soviet Communist Theory

lalu berdasarkan empat teori pers tersebut, pers Indonesia termasuk bagian yang mana? Melihat dari sejarah pers Indonesia yang cukup panjang, kita dapat menganalisa bahwa pembagian sistem pers di Indonesia menurut eranya itu ada:

1.      Era Hindia – Belanda

Pers pada era ini masuk dalam golongan pers yang masih “Authoritarian”, karena pers pada masa itu masih sangat sederhana, berita-beritanya pun hanya berisi mengenai pengumuman-pengumuman mengenai peraturan pemerintahan Hindia – Belanda pada masa itu dan ruang lingkup persnya masih sangat terbatas. Negara masih menguasai pers dan menggunakannya sebagai alat untuk melegalitas kekuasaan terhadap rakyat atau masayarakatnya. Dan juga konten pers yang terbit pada masa itu masih melalui kontrol serta sensor agar tidak merugikan ataupun menjelek-jelakkan pemerintahan colonial yang tengah menguasai Indonesia pada saat itu.


2.      Era Penjajahan Jepang

Masih hampir sama, pada masa penjajahan Jepang pers Indonesia masih dibatasi pergerakannya dan butuh ijin khusus untuk dapat membuat surat kabar ataupun usaha penerbitan lainnya. Bentuk pers pada masa ini masih sama pada saat penjajahan colonial Belanda, yakni pers yang masih “Authoritarian” karena pers sangat dibatasi pergerakannya dan sangat diawasi betul oleh pemerintahan jepang pada saat itu. Selain itu pers juga digunakan sebagai alat propaganda Jepang untuk merebut hari masyarakat Indonesia dengan menggunakan slogan-slogan seperti Jepang adakah saudara tua Indonesia misalnya.



3.      Era Perjuangan Kemerdekaan

Pada era ini pers digunakan dengan maksimal dan betul-betul dimanfaatkan untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang tengah mendapat serangan dari Belanda atau disebut Agresi Belanda dan pemberontakan-pemberontakan yang ada di daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Bisa dikatakan pers kita saat itu menganut sistem yang “Libertarian” atau Liberal karena adanya kebebasan pers yang cukup memadai serta pers digunakan sebagai alat mencari kebenaran dan sebagai pengawas pemerintah.

Atau bisa juga campuran antara sistem Libertarian dengan Authoritarian, karena pers Indonesia yang masih belum stabil dikarenakan pada masa awal kemerdekaan Indonesia yang membutuhkan dukungan dari segala pihak, termasuk pers, dan pemerintah menggunakan pers untuk memperkuat legitimasinya pada rakyat agar setia dan mau berkorban untuk Negara melalui propaganda mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
 

4.      Era Demokrasi Parlementer

Setalah lepas dan dapat “mengusir” kembali Belanda dari tanah air tercinta, pers Indonesia mulai berkembang. Dengan kebebasan pers yang sangat besar, setiap orang dapat membuat media pers sendiri dan tanpa harus membuat ijin yang sulit. Sistem pers Indonesia saat itu adalah sangat “Libertarian” karena begitu banyaknya Koran-koran yang mulai terbit, dan ini digunakan oleh partai dan golongan-golongan yang ada pada saat itu sebagai “corong” mereka dalam bersuara. Mereka menggunakan pers mereka sebagai alat untuk kepentingan mereka, bukan sebagai alat pencari kebenaran sehingga fungsi pers pada saat itu sangat melenceng jauh dari apa yang diinginkan. Pers banyak yang didanai oleh partai ataupun golongan-golongan tertentu sehingga mereka tidak dapat berdiri mandiri dan tidak adanya independensi yang membuat berita-berita yang mereka sampaikan hanya berisi hal-hal yang baik mengenai partai ataupun golongan mereka.
5.      Era Demokrasi Terpimpin

Dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno yang ingin mengganti sistem demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, pers pun ikut kena imbasnya. Di era demokrasi terpimpin ini bila ada pers yang tidak sejalan dengan pemerintahan (Soekarno) maka pers tersebut tak segan-segan akan ditutup atau dilarang untuk terbit, pers hanya dijadikan alat untuk memobilisasi massa dan corong penguasa terhadap rakyatnya, pers Indonesia kembali lagi mencicipi sistem pers yang Authoritarian di mana negaralah yang mengatur segalanya.


6.      Era Orde Baru

Era orde baru bisa dikatakan era yang stabil bila dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Pada era orde baru pemerintah tengah sibuk menyetabilkan keadaan serta dalam rangka pembangunan. Sistem pers Indonesia pun kembali berubah, sistem yang digunakan adalah sistem Sosial Responsibility di mana pers memiliki tanggung-jawab terhadap masyarakat, setiap berita harus ada pertanggung-jawabannya.

Bila diidentifikasi lagi sebetulnya di luar keempat teori pers Siebert dan kawan-kawan, dalam tahap ini pers Indonesia masuk pada masa pers pembangunan, yaitu menurut teori Mc Quail yang berpendapat bahwa pers pembangunan muncul pada negara dunia ketiga yang belum memiliki sistem komunikasi yang baik seperti: Infrastruktur Komunikasi, Ketrampilan Profesional, Sumberdaya Produksi dan Kultural, dan Audiens. Pada sistem ini pers harus digunakan secara positif dalam pembangunan nasional, otonomi, dan identitas kebudayaan nasional.

Dalam rangka pembagunan Indonesia yang tengah gencar-gencarnya, media pers juga diberi kebebasan yang bertanggung-jawab. Untuk kepentingan itu pada masa orde baru muncul yang namanya pers pancasila. Sifat pers pancasila merupakan pers yang melihat segala sesuatu secara proporsional. Pers pancasila mencari keseimbangan dalam berita atau tulisannya untuk kepentingan serta kemaslahatan semua pihak sesuai dengan konsensus demokrasi pancasila. Negara yang menganut pers pancasila yaitu Indonesia.

7.      Era Reformasi
Reformasi memberi angina segar untuk dunia pers, karena pada masa sebelumnya pers selalu dikekang oleh pemerintah dalam setiap kegiatannya dengan alasan untuk kepentingan nasional maka pers harus manut dengan pemerintah. Reformasi membawa kembali apa yang pers inginkan, yakni kebebasan dalam pers. Pada masa reformasi ini sistem pers kita seperti bercampur dan bisa dikatakan pers Indonesia itu unik, karena ada perpaduan antara sistem Libertarian, Social Responsibility, dan Pers Pembangunan. Selain itu dengan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah mulai timbul industrialisasi pers yang pers banyak dikomersialisasikan dan monopoli pers oleh swasta, ini membuktikan semakin bergeliatnya dunia pers Nusantara, yakni sesuai dengan teori Pers Partisipan Demokratik.









Daftar Bacaan:


Comments

Popular posts from this blog

NASKAH DRAMA MINAK JINGGO DAN DAMARWULAN

Contoh Naskah Drama Teatrikal (Kampanye Stop KDRT Jateng 2016)

Contoh Script Acara Televisi (Tugas Produksi Tv)